makalah bimbingan konseling keluarga pendekatan sistem keluarga



I.          PENDAHULUAN
Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai suatu kesatuan atau unit masyarakat yang terkecil, tetapi tidak selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan-ikatan lain, mereka hidup bersama dalam satu rumah (tempat tinggal) biasanya dibawah asuhan seorang kepala rumah tangga. Selain itu keluarga merupakan lingkungan masyarakat terkecil yang untuk pertama kalinya kita dapat belajar bersosialisasi dengan dunia luar, serta Keluarga sebagai pondasi awal yang berperan penting terhadap diri kita. Kehidupan keluarga yang harmonis memberikan efekpositif bagi setiap anggotanya. Baik dalam psikologisnya maupun biologisnya.
Kadang keluarga merupakan penyebab awal dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masing-mansing anggotanya. Karena itu harus ada usaha-usaha untuk memperkuat kemampuan keluarga atau anggota keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar, maka kiranya diperlukan melakukan konseling keluarga. Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus, konseling tersebut diarahkan untuk membantu seluruh anggota keluarga untuk diarahka nmenjadi lebih baik guna membentuk suatu keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.
Dalam melakukan konseling keluarga terdapat beberapa jenis dan pendekatan untuk memahami setiap persoalan dan berusaha untuk mencoba memecahkannya. Diantaranya adalah konseling dengan menggunakan pendekatan system keluarga dan psikodinamika keluarga. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba untuk membahas beberapa pendekatan yang berkaitan dengan konseling keluarga itu sendiri.

II.       RUMUSAN MASALAH
A.      Bagaiamana konsep konseling dengan pendekatan system keluarga?
B.       Siapa Tokoh konseling dengan pendekatan system keluarga?
C.       Bagaimana Tujuan dan Peran konselor pada pendekatan system keluarga?
D.      Bagaimana Teknik konseling dengan pendekatan system keluarga?
E.       Bagaimana Studi kasus konseling dengan pendekatan system keluarga?
F.        Apa saja kelebihan dan kekurangan konseling dengan pendekatan system keluarga?

III.    PEMBAHASAN
A.      Konsep Konseling dengan Pendekatan System Keluarga
Teori sistem adalah istilah umum mengkonsepkan sekelompok elemen yang saling berhubungan, misalnya orang yang berinteraksi sebagai satu entitas yang utuh, misalnya keluarga atau kelompok. Sebagai sebuah konsep, teori sistem “lebih mirip pada suatu cara berfikir daripada teori yang koheren dan standar”. Menurut teori sistem seorang ahli biologi Ludwig Von Bertalanffly bahwa semua organisme yang hidup tersusun atas komponen-komponen yang berinteraksi secara mutual, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Fokus sistem teori secara umum adalah bagaimana interaksi dari bagian-bagian dapat mempengaruhi operasi sistem tersebut secara keseluruhan.[1]
Untuk melaksanakan konseling dengan pendekatan sistem ini, maka konselor perlu memahami konsep-konsep bawah ini :
1.      Perbedaan setiap individu dalam keluarga. Dengan demikian, maka konselor akan dapat modifikasi hubungan anggota keluarga.
2.      Keseimbangan kemampuan, intelektual, dan emosi pada anggota keluarga. Hal ini akan membantu konselor dalam memahami dan melihat sistem keluarga dlam menghadapi masalah.[2]
Menurut Bowen percaya bahwa ada ansietas kronis di dalam semua kehidupan yang bersifat fisik dan emosional. Beberapa individu lebih terpengaruh oleh ansietas ini dari pada yang lain “karena cara generasi sebelumnya dalam keluarga mereka mentransmisikannya” kepada mereka. (Friedman, 1991). Jika ansietas tetap rendah, masalah yang muncul pada diri atau keluarga tersebut hanyalah sedikit. Namun, jika ansietas pada keluarga tinggi, maka akan lebih rentan terhadap “penyakit”. Jadi, pada teori sistem Bowen ini terletak pada perbedaan atau membedakan pikiran seseorang dariemosi seseorang, dan dari diri sendiri dari orang lain.[3]

Konseling ini menekankan pada saling ketergantungan satu sama lain dalam keluarga. Ketergantungan tidak hanya pada kebutuhan pokok saja seperti makan, pakaian, perlindungan, namun yang terpenting adalah ketergantungan akan kasih sayang, perasaan, persahabatan, sosialisasi dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak tampak namun sangat di perlukan.[4]
Dalam pendekatan sistem family intervensi lebih ditujukan kepada apa yang dimiliki  oleh sistem ketimbang aspek pengalaman individu. Terapis juga bekerja sebagai sebuah tim, dengan beberapa orang bekerja dalam ruangan bersama keluarga dan yang lain bertindak sebagai pengamat, untuk menguatkan kenetralan dan orientasi sistem, dan untuk mengaktifkan deteksi pola interaksi subtil yang terjadi dalam dinamika kompleks cara keluarga untuk tetap bersama.[5]
B.       Tokoh konseling dengan pendekatan system keluarga
1.      Murray Bowen
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem. Menurutnya, keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfungsioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Pada teori pendekatan ini, Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari system keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindar dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian, dia harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya.
Bowen sendiri percaya bahwa ada ansiestas kronois di dalam kehidupan yang bersifat fisik dan emosional. Jika ansiestas rendah, maka masalah yang muncul pada diri orang tersebut atau keluarganya sedikit. Namun, jika ansietasnya tinggi, orang ini rentan terhadap penyakit dan menjadi disfungsional secara menahun. Jadi, focus terori Bowen ini terletak pada perbedaan, atau membedakan pikiran seseorang dari emosi dalam diri sendiri dan orang lain.[6]

2.       Alfred Adler
Merupakan seorang psikolog pertama dari era modern yang menggunakan terapi keluarga melalui pendekatan sistemis. Dia menetapkan lebih dari 30 klinik panduan anak di Vienna setelah Perang Dunia I dan kemudian Rudolf Dreikurs yang membawa konsep ini ke Amerika Serikat dalam bentuk pusat pendidikan keluarga. Adler melakukan sesi konseling keluarga dalam forum publik terbuka untuk mendidik orangtua.  Dia percaya bahwa masalah-masalah yang terjadi pada salah seorang dalam keluarga, berlaku secara umum terhadap anggota lainnya dalam komunitas.

3.      Carl whitaker
Konseling pendekatan ini dikembangkan oleh Carl Whitaker, menurutnya bahwa manusia secara individual tidak dapat melepaskan diri dari ikatan keluarganya. Pendapat ini, juga senada dengan pendapat yang dikemukakan Olson dan DeFrain (2006) yang dikutip kertamuda bahwa apapun yang dilakukan anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya, sehingga efektifitas perubahan dan pemahaman individu akan lebih mudah berubah jika keluarganya juga berubah.[7]

C.      Tujuan dan Peran konselor pada pendekatan system keluarga
a.       Tujuan konseling system keluarga
Tujuan dari konsling ini adalah membantu klien memahami dan mengubah strategi dan pola dalam menghadapi stress yang diwariskan dari generasi ke generasi. Klien tidak lagi memperlihatkan ansietas di dalam kehidupan sehari-hari, dan akan dapat memisahkan pikiran dari perasaan serta diri sendiri dari orang lain.
b.      Peranan Konselor
Peranan konselor dalam teori ini adalah untuk melatih dan mengajar klien agar lebih kognitif saat berhadapan dengan orang lain. Proses konseling, dalam kondisi terbaiknya, ibaratnya dengan “dialog Socratic, dengan guru atau “pelatih” mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sampai siswa belajar untuk berpikir bagi dirinya sendiri.(Samuel: 276).[8] 

D.       Teknik konseling dengan pendekatan system keluarga
Teknik pada pendekatan ini terfokus pada cara untuk menciptakan seorang individu dengan konsep diri yang sehat, yang mampu berinteraksi dengan orang lain dan tidak mengalami ansietas berlebih, setiap kali hubungannya mengalami tekanan. Cara untuk mencapai tujuan ini melibatkan penilaian atas diri sendiri dan keluarga dengan sejumlah cara. Salah satunya melalui konstruksi genogram multigenerasi. Genogram melibatkan informasi yang berhubungan dengan suatu kelurga beserta hubungan masing-masing anggotanya selama setidaknya 3 generasi terakhir. Genogram dapat membantu orang dalam mengumpulkan informasi, hipotesis dan melacak perubahan hubungan dalam konteks peristiwa masa lalu dan kontemporer.
Teknik lainnya difokuskan pada proses kognitif seperti mengajukan pertanyaan berdasaarkan kepuasan keluarga seseorang. Tujuannya adalah untuk memahami apa yang terjadi di dalam keluarga seseorang tanpa di dominasi emosi. Klien dapat kembali pulang dan mengunjungi keluarganya, agar dapat mengenal mereka lebih baik.
Pendekatan sistem yang dikemukakan oleh perez (1979) mengembangkan 10 teknik konseling keluarga, yaitu :
1.      Sculpting (mematung)
Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota keluarga yang menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan diantara anggota-anggota keluarga. Klien diberi izin menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa rasa cemas. Sculpting digunakan konselor untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui tindakan (perbuatan). Hal ini bisa dilakukan dengan “the family relationshop tebelau” yaitu anggota keluarga yang “mematung”, tidak memberikan respon apa-apa, selama seorang anggota menyatakan perasaannya secara verbal (Sopyan S.Willis, 2008 : 139-140).
2.      Role playing (bermain peran)
Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran tertentu kepada anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga itu, misalnya anak memainkan peran sebagai ibu. Dengan cara itu anak akan terlepas atau terbebas dari perasaan-perasaan penghukuman, perasaan tertekan dan lain-lain. Peran itu kemudian bisa dikembalikan lagi kepada keadaan yang sebenarnya jika ia menghadapai suatu prilaku ibunya yang mungkin kurang ia sukai. Role playing atau bermain peran, sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000).
Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.
Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.
Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.
3.      Silence (diam)
Dalam proses konseling, adakalanya seorang konselor pada untuk bersikap diam. Adapun alasan konselor melakukan hal ini dapat dikarenakan konselor yang menunggu klien bepikir, bentuk protes karena klien bicara dengan berbelit-belit atau menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien bbas berbicara. Diam disini bukan bararti tidak ada komunikasi akan melainkan tetap ada yait melalui perilaku non verbal. Yang paling ideal, diam itu paling tinggi 5-10 detik dan selebihnya dapat diganti dengan dorongan minimal. (Namora Lumongga Lubis. 2011: 101).
Apabila anggota berada dalam konflik dan frustasi karena ada salah satu anggota lain yang suka bertindak kejam, maka biasanya mereka datang kehadapan konselor dengan tutup mulut. Kedaan ini harus dimanfaatkan konselor untuk menunggu suatu gejala prilaku yang akan muncul menunggu munculnya pikiran baru. Disamping itu juga digunakan dalam menghadapi klien yang cerewet, banyak omong dan lain-lain.
4.      Confrontation (konfrontasi)
Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara konseling keluarga. Atau konfrontasi adalah suatu teknik konseling yang memantang klien untuk meliht adanya diskrepansi atau inkonsistensi secara perkataan dan bahasa badan (perbuatan), ide awal dengan ide berikutnya, senyum, dengan kedihan dan sebagainya. Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasabya yang banyak omong?”, konselor bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding. (Namora Lumongga Lubis. 2011: 99)
5.      Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara bertanya,. 
6.      Listening (mendengarkan)
Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga didengarkan dengan sabar oleh yang lain. Konselor menggunakan teknik ini untuk mendengarkan dengan perhatian terhadap klien. Perhatian tersebut terlihat dari cara duduk konselor yang menghadapkan muka kepada klien, penuh perhatian terhada setiap pernyataan klien, tidak menyela ketika klien sedang serius.
Listening skill (keterampilan mendengarkan)
Keterampilan ini terdiri dari;
1)           Attending, yaitu pernyataan dalam bentuk verbal dan non verbal ketika klien memasuki ruang konselor,
2)           Paraphrasing, yaitu respon konselor terhadap pesan utama dalam pernyataan klien. Respon tersebu merupakan pernyataan ringkas dalam bahasa konselor sendiri tentang pernyataan klien,
3)           Clarfyng, yaitu pengungkapan diri dan memfokuskan diskusi. Konselor memperjelas masalah klien,
4)           Perception checking, yaitu menentukan ketepatan pendengaran konselor. (Sofyan S. Willis. 2009:141-142).
7.      Recapitulating (mengikhtisarkan)
Recapitulating (mengikhtisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk mengikhtisarkan pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, sehingga dengan cara itu kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan terfokus. Misalnya konselor mengatakan “rupanya ibu merasa rendah diri dan tak mampu menjawab jika suami anda berkata kasar”.
8.      Summary (menyimpulkan)
Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor akan menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar konseling bisa berlanjut secara progresif. Hasil percakapan konselor dank lien hendaknya disimpulakn sementara oleh konselor untuk memberikan gambaran kilas balik (feedback) atas hal-hal yang telah dibicarakan sehingga klien dapat menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap, meningkatkan kualitas diskusi, dan mempertajam atau memperjelas fokus pada wawacara konseling.
9.      Clarification (menjernihkan)
Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau menjernihkan suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar. Klarifikasi juga terjadi untuk memperjelas perasaan yang diungkap secara samar-samar. Misalnya mislannya konse,or mengatakan kepada jeni, bukan kepada saya”. Biasanya klarifikasi lebih menekankan kepada aspek makna kognitif dari suatu pernyataan verbal klien.
a.       Rasional
Dalam keadaan ragu-ragu, sering klien berbicara samar-samar alias tidak jelas. Mungkin dia diliputi perasaan tertentu mungkin menyimpan rahasia, maka klien kurang jelas pengungkapannya.
Mungkin pula ketidakjelasan bersumber dari lemahnya kemampuan mengkomunikasi sesuatu secara jelas. Dalam hal-hal seperti ini konselor harus jeli pengamatannya. Dia berusaha menggunakan teknik “menjernihkan” atau clarifying. (Sofyan S. Willis. 2013:197-198).

b.      Tujuan latihan
Supaya klien dapat menyatakan pesannya (perasaan, pikiran, pengalaman) dengan jelas, alasan yang logis, dan dapat mengilustrasikan perasaan dengan cermat, perlu konselor dilatih supaya mampu :
1.     Menangkap pesan klien yang samar-samar alias tidak jelas atau yang meragukan.
2.     Menyusun kalimat yang menjernihkan/ meng-clear-kan (clarifying) pernyataan-pernyataan (pesan-pesan) yang samar-samar, meragukan, dan tidak jelas.
c.       Materi
1.     Katihan menangkap pesan-pesan yang samar-samar dan yang jelas.
2.     Latihan menyusun kalimat-kalimat menjernihkan terhadap pernyataan  klien yang samar-samar dan meragukan.
10.  Reflection (refleksi)
Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikann perasaan yang dinyatakan klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya. “tanpaknya anda jengkel dengan prilaku seperti itu”.
Secara lebih sederhana, refleksi dapat didefenisikan sebagai upaya konselor memperoleh informasi lebih mendalam tentang apa yang dirasakan oleh klien dengan cara memantulkan kembali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Dalam hal ini, seorang konselor dituntut untuk menjadi pendengar yang aktif. Hal senada juga diungkapkan oleh Bolton (2003) yang mengatakan bahwa bahwa mendengar adalah lebih dari hanya mendengarsaja. Lebih khusus ia mengatakan dalam proses mendengarkan terdapat unsur menyimak, yang berarti konselor harus memerhatikan sungguh-sungguh peran yang disampaikan oleh klien. (Namora Lumongga Lubis. 2011: 93-94)
Ada tiga jenis refleksi yaitu:
1)     Reflecting feelings (Merefleksi Perasaan)
Pada refleksi perasaan, konselor mencerinkan kembali perasaan yang disampaikna oleh klien.
Contoh:
Klien: saya begitu yakin akan menamatkan sekolah pada usia sekarang. Tetapi saya gagal menyelesaikannya. Saya merasa bodoh.
Konselor: jadi, kegagalan itulah yang menyebabkan anda merasa bodoh?
2)   Reflecting meanings
Apabila perasaan dan fakta dicmpurkan dalam suatu respons yang akurat, hal inilah disebut sebagai refleksi makna.
Contoh :
Klien : Ibu guru supaya terus menerus bertanya tentang kehidupan saya. Saya tidak ingin dia melakukan hal itu.
Konselor : anda merasa jengkel karena dia tidak merespek privasi anda.
3)    Summative reflections (refleksi sumatif)
Terjadi suatu refleksi sumatif, bila diungkapkan kembali secara singkat tema dan perasaan utama yang dieksresikan pembicara selama durasi percakapan yang lebih lama dari pada yang terlip oleh bentuk refleksi lainnya.
Menurut Bolton (2002), kalimat-kalimat berikut dapat digunakan untuk memulai refleksi sumatif: “tema yang selalu anda ulang seperti adalah …” “marilah kita melakukan rekapitulasi dari dari apa yang sudah kita bicarakan sejauh ini …“saya memikirkan apa yang anda katakana. Saya melihat suatu pola dan saya ingin mengeceknya. Anda …”
Ciri-ciri respons refleksi adalah:
a.       Tidak menilai (nonjudgmental).
b.      Refleksi akurat dari apa yang dialami oleh pihak yang lain.
c.       Ringkas.
d.      Kadang-kadang lebih banyak dalam dan pada kata-kata yang terucap.[9]

E.       Studi kasus konseling dengan pendekatan system keluarga
Contoh kasus pada pendekatan konseling system keluarga yaitu, pasangan suami istri yang menikah pada tingkat kematangan emosional yang sama dibandingan dengan pasangan yang kurang matang, yang lebih rentan mengalami permasalahan dalam hubungan pernikahan mereka, daripada yang lebih matang. Ketika muncul gesekan besar dalam pernikahan, pasangan yang kurang matang cenderung memperlihatkan tingkat fusi yang tinggi (emosi kebersamaan yang tidak terbedakan) atau pemutusan (penghindraan psikologis atau fisik) karena mereka belum memisahkan diri dari keluarga asalnya dengan cara yang sehat, dan belum membentuk konsep diri yang stabil. Ketika ditekan sebagai individu dalam perkawinan, mereka cenderung melakukan triangulasi (memfokuskan diri dari pihak ketiga). Pihak ketiga dapat berupa perkawinan itu sendiri, anak, institusi atau sekolah atau bahkan keluhan somatic. Bagaimanapun juga, hal tersebut mengarah pada interaksi pasangan yang tidak produktif.[10]

F.        Kelebihan dan Kekurangan Konseling dengan Pendekatan System Keluarga
Pendekatan Sistem Bowen memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari system ini adalah sebagai berikut :
1.        Pendekatan ini berfokus pada riwayat keluarga multigenerasi dan pentingnya memahami dan menghadapi pola-pola di masa lalu, agar dapat menghindari pengulangan tingkahlaku tertentu dalam hubungan antar pribadi .
2.        Pendekatan ini menggunakan genogram dalam memplot hubungan riwayat, yang merupakan alat spesifik yang asalnya dari pendekatan Bowen.

Sedangkan kekurangan dari pendekatan sistem Bowen adalah sebagai berikut:

1.        Pendekatan ini kompleks dan ekstensif. Teorinya tidak dapat dipisahkan dari terapi. Dan jalinan tersebut membuat pendekatan ini lebih mempunyai keterlibatan dari pada kebanyakan pendekatan terapi lainnya.
2.        Klien yang dapat memetik keuntungan paling banyak dari teori Bowen adalah yang mempunyai disfungsi berat atau pembedaan diri yang rendah.
3.         Pendekatan ini membutuhkan investasi cukup besar pada berbagai tingkatan, yang mungkin sebagian klien tidak mau atau tidak bias melakukannya.[11]














IV.    KESIMPULAN
1.      Konseling sistem keluarga menekankan pada saling ketergantungan satu sama lain dalam keluarga. Ketergantungan tidak hanya pada kebutuhan pokok saja seperti makan, pakaian, perlindungan, namun yang terpenting adalah ketergantungan akan kasih sayang, perasaan, persahabatan, sosialisasi dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak tampak namun sangat di perlukan.
2.      Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem. Menurutnya, keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfungsioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
3.      Tujuan dari konsling ini adalah membantu klien memahami dan mengubah strategi dan pola dalam menghadapi stress yang diwariskan dari generasi ke generasi.
4.      Teknik pada pendekatan ini terfokus pada cara untuk menciptakan seorang individu dengan konsep diri yang sehat, yang mampu berinteraksi dengan orang lain dan tidak mengalami ansietas berlebih, setiap kali hubungannya mengalami tekanan.

















DAFTAR PUSTAKA
Gladding, Samuel T.,Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. (Jakarta : PT Indeks),2012.
Kertamuda, Fatchiah E. , Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia, (Jakarta : Salemba Humanika), 2009.
Mahmudah, Bimbingan dan konseling keluarga, ( Semarang : cv. Krya Abadi), 2015.
McLeod, John, PengantarKonseling :TeoridanStudiKasus, (Jakarta : Kharisma Putra Grafika), 2006.







[1] Samuel T. Gladding. 2012.Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. (Jakarta : PT Indeks) Hal. 274.
[2]Mahmudah, Bimbingan dan konseling keluarga, ( Semarang : cv. Krya Abadi), 2015, hal. 104-105
[3] Samuel T. Gladding. 2012.Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. (Jakarta : PT Indeks) Hal. 275.

[4] Fatchiah E. Kertamuda, Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia, (Jakarta : Salemba Humanika), 2009, hal. 141-142
[5] John McLeod.2006.Pengantar Konseling : Teori dan Studi Kasus.(Jakarta : Kharisma Putra Grafika) Hal. 219-220
[6] Samuel T. Gladding. 2012.Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. (Jakarta : PT Indeks) Hal. 275.

[8] Samuel T. Gladding. 2012.Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. (Jakarta : PT Indeks) Hal. 276.
[10] Samuel T. Gladding. 2012.Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. (Jakarta : PT Indeks) Hal. 275-276.

[11] Samuel T. Gladding, Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisike 6,Hal. 278

Komentar

  1. Terima kasih untuk pencerahannya. Kami hadir untuk merawat pernikahan Anda. Kunjungi: https://familyinsightindonesia.org/ Terima kasih.

    BalasHapus

Posting Komentar