MAKALAH KELUARGA FAKIR MISKIN



KELUARGA FAKIR MISKIN

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pekerjaan Sosial
Dosen pengampu: CaturYuliwiranto, S. ST, MSW.



Diususun Oleh :
1.      LailiAlawiyatul F.                    1401016023
2.      Fuadah                                     1401016035
3.      Ikromah                                   1401016036




FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
 
I.         PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan sosial yang bersifat global. Artinya, kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang di dunia  ini. Meskipun dalam tingkatan yang berbeda, tidak ada satupun negara di jagat raya ini yang “kebal” dari kemiskinan.
Semua negara di dunia ini sepakat bahwa kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan berdaban. Semua umat manusia di planet ini setuju bahwa kemiskinan harus dan bisa ditanggulangi.
Di indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan masih hadir di tengah-tengah kita saat ini, melainkan pula karena kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indonesi     .
Dalam makalah ini akan di bahas terkait permasalahan kemiskinan baik dari kriteria, penyebabnya dan juga upaya dari masyarakat serta pemerintah dan mengentaskan permasalahan kemiskinan.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian keluarga fakir miskin ?
B.     Bagaimana karakteristik keluarga fakir miskin ?
C.     Bagaimana upaya penyelesaian masalah fakir miskin ?
D.    Bagaimana kebijakan pemerintah dalam undang-undang terkait dengan permasalahan fakir miskin ?

III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fakir miskin
Kemiskinan memiliki banyak definisi. Sebagian orang memahami istilah kemiskinan dari perspektif subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihat dari segi moral dan evaluatif. Meskipun sebagian besar konsepsi mengenai kemiskinan sering dikaitkan dengan aspek ekonomi, kemiskinan sejatinya menyangkut pula dimensi material, sosial, kultural, institusional, dan struktural. Piven dan Cloward (1993) dan Swanson (2001), misalnya, menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial.[1]
Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek, melainkan pula semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standart baku yang dikenal dengan garis kemiskinan. Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut.[2]
           Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang, baik akibat atau ketidakmampuan negara atau masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya.[3]
Menurut BPS dan Depsos, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanutsiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memuhenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam definisi ini meliputi kebutuhan akan makan, pakaian, perumahan, perwatan kesehatan, dan pendidikan.[4]

B.     Karakteristik Keluarga Fakir Miskin
Berdasarkan  studi SMERU, Suharto (2006 : 132) menunjukkan sembilan kriteria yang menandai kemiskinan :
1.      Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan);
2.      Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
3.      Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil);
4.      Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya pendidikan dan ketrampilan, sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan, listrik, air);
5.      Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan aset), maupun massal (rendahnya modal sosial, ketiadaan fasilitas umum);
6.      Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesinambungan;
7.      Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi);
8.      Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan sosial dari negara dan masyarakat);
9.      Ketidakterlibatan dan kegiatan sosial masyarakat.[5]
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
  1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
  2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
  3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolutdan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari.[6]
C.     Upaya Penyelesaian Masalah Fakir Miskin
Upaya penyelesaian masalah fakir miskin sebaiknya dilakukan sesuai dengan latar belakang penyebab kemiskinan tersebut. Dilihat dri pendekatan wilyah, kawasan yang merupakan kantung-kantung atau kluster kemiskinan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kawasan tertinggal dan kawasan terbelakang. Kawasan tertinggal yaitu dimana kondisi kemiskinan lebih disebabkan karena rendahnya potensi dan sumber daya khususnya sumber daya alam, pada dasarnya dijumpai adanya dua pandangan untuk menanganinya.
1.      Pandangan yang lebih dilandasi pada pertimbangan dan perhitungan yang lebih bersifat ekonomis. Pandangan ini akan cenderung menyarankan agar investasi dipusatkan pada wilayah-wilayah yang berpotensi tinggi dengan alasan adakan lebih cepat memacu pertumbuhan ekonomi.
2.      Pandangan kedua lebih didasari pada pertimbangan sosial dan politik, merekomendasikan agar demi keadilan, investasi dilakukan tidak hanya untuk daerah yang berpotensi tinggi tetapi juga daerah berpotensi sedang dan rendah.
Sedangkan bagi upaya pengembangan kawasan terbelakang, sumber masalahnya bukan karena kawasan ini miskin sumber daya, melainkan sebagian besar penduduk kawasan ini hidup dalam kondisi kemiskinan karena memang belum banyak upaya untuk memanfaatkan serta mendayagunakan potensi sumber daya yang ada. Oleh karena itu, strategi pengembangan kawasan ini identik dengan peningkatan berbagai upaya pendayagunaan potensi dan sumber daya yang ada, baik melalui investasi bagi eksploitasi dan eksplorasi sumber daya maupun investasi bagi pembangunan sarana dan prasarana pendukungnya.[7]
 Apabila masalah kemiskinan dilihat dari akibat kecacatan individual, maka strategi yang digunakan untuk pemecahan akan lebih ditekankan pada usaha untuk mengubah aspek manusia sebagai indiviu atau warga masyarakat. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan akan menitik beratkan pada peningkatan kulitas manusianya sehingga akan dapat berfungsi lebih efektis dalam upaya peningkatan taraf hidup. Dengan peningkatan kualitas ini, akan memungkinkan peningkatan kemampuan dalam mengantisipasi berbagai peluang ekonomi yang muncul disamping peningkatan kemampuan dan produktivitas kerja.
Apabila kemiskinan diakibatkan oleh kelemahan struktur dan sistem, maka strategi penanganan kemiskinan lebih dititikberatkan pada perubahan sistem dan perubahan struktural. Melalui serangkaian perubahan ini diharapkan akan terwujud distribusi penguasaan sumber daya yang labih baik. Disamping itu, perubahan struktural juga dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan lapisan miskin sehingga akan memberi peluang yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan.
Strategi pembangunan masyarakat dalam angka pengentasan kemiskinan, agar lebih kena pada sasaran dalam menyentuh kepentingan dan permasalahan langsung lapisan miskin, maka tidak dapat diabaikan persoalan partisipasi mereka dalam proses pembangunan yang dijalankan. Kramer, mengemukakan empat partisipasi lapisan  kemiskinan khususnya melalui model yang disebut dengan Community Action Programs.
Bentuk pertama merupakan pertisiapasi dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan program yang dijalankan. Dengan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, diharapkan kepentingan dan permasalahan lapisan miskin ini akan dapat tercermin dalam program yang dibuat. Bentuk yang kedua berupa partisipasi dalam perkembangtan program. Dasar pemikiran ini adalah sebagai kelompok sasaran, lapisan miskin akan berkedudukan sebagai konsumen program. Oleh sebab itu, agar program yang ditawarkan betul-betul sesulai dengan kebutuhan dan persoalan kelompok sasaran, maka perlu didengar pendapat semua sasarannya terutama tentang kebutuhan dan kepentingan serta aspirasi yang benar-benar riil. Bentuk partisipasi ketiga lebih menekankan pada keterlibatan dalam geraka sosial. Bentuk partisipasi yang keempat berupa keterlibatan lapisan miskin didalam berbgai pekerjaan. Salah satu dasar pertimbangannya adalah terbatasnya alternatif bagimereka untuk dapat melakukan pekerjaan guna mningkatkan pendapatan.[8]
D.    Kebijakan Pemerintah dalam Undang-undang Terkait dengan Permasalahan Fakir Miskin
1.      Tanggung jawab Negara ; Landasan kontitusional

Tanggungjawab negara dalam membangun dan mengembangkan sistem perlindungan sosial juga dilandasi konstitusi, baik pada aras internasional maupun nasional.
Deklarasi Universal HAM Pasal 25 ayat 1 menyatakan “setiap orang berhak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya.”Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya (Ekosob) Pasal 11 menyatakan “ Negara-negara penandatangan Konvensta ndartan mengakui hak setiap orang atas standart hidup yang layak untuk diri dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, dan perumahan...”
Dalam konstitusi Indonesia, hak atas standart hidup layak telah diakui sebagai HAM. Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 Amandemen II menetapkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 11 menyatakan “ Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Hak-hak sosial di atas merupakan kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 Ayat 4 Amandemen II yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asazi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.” Kalaupun sebagian besar raktay NTB dan NTT miskin, adalah kewajiban negara untuk secara  aktif mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah progresif membebaskan warganya dari kelaparan. Program JPS, Raskin dan dana kompensasi BBM telah terbukti gagal merespon problema sosial di masyarakat lokal.[9]

2.      Kebijakan Negara ; Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial.
Pada bab IV, tentang Penanggulangan Kemiskinan. Pasal 19, Penanggulangan  kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiantan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 20, penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk :
a.       Meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b.      Memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;
c.       Mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan
d.      Memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miski dan rentan.

Pasal 21, penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk:
a.        Penyuluhan dan bimbingan sosial;
b.      Pelayanan sosial;
c.       Penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
d.      Penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;
e.       Penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar;
f.       Penyediaan akses pelayanan perumahan dan pemukiman; dan/atau
g.      Peneyediaan akses pelatihan, modfal usaha, dan pemasaran hasil usaha.


Pasal 22, pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 menjadi tanggung jawab Menteri.
Pasal 23, Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kemiskinan diaturdengan peraturan Pemerintah.[10]
IV.             KESIMPULAN
Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang, baik akibat atau ketidakmampuan negara atau masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya.
Berdasarkan  studi SMERU, Suharto (2006 : 132) menunjukkan sembilan kriteria yang menandai kemiskinan :
1.      Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar
2.      Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
3.      Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial
4.      Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
5.      Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual
6.      Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian
7.      Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya
8.      Ketiadaan jaminan masa depan.
9.      Ketidakterlibatan dan kegiatan sosial masyarakat.
Upaya untuk menangani masalah kemiskinan harus sesuai dengan latar belakang penyebab adanya kemiskinan, seperti sebab ekonomi, individu, infrastruktur, dll.
Di dalam kebijakan pemerintah telah di cantumkan mengenai masalah kemiskinan baik dalam landasan kontitusi maupun dalam UU RI. Dan yang terpenting kebijakan itu tidak hanya tertulis sja namun juga di jalankan derngan nyata.
V.                PENUTUP
Demikianlah pemaparan dan penjelasan dari makalah kami, apabila terdapat kesalahan di dalam kami menyampaikan materi tersebut atau kesalahan di dalam penulisan kami mohon maaf. Semoga dengan apa yang kami paparkan di atas dapat bermanfaat bagi kita semua.



























DAFTAR PUSTAKA
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahan, 2013, Yogyakarta; pustaka Pelajar
Soetomo, Strategi-strategi pembangunan masyarakat, 2013, Yogjakarta: pustaka pelajar
Suharto, Edi, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia, 2013, Bandung : Alfabeta    
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, 2005, Bandung: Alfabeta
Wikipedia.org


[1]Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia, 2013, Bandung : Alfabeta, hal. 15    
[2]Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, 2005, Bandung: Alfabeta, hal.133
[3]Ibid, Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia,hal.16
[4]Ibid,[4]Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, hal. 133
[5]Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia, 2013, Bandung : Alfabeta, hal. 16
[6]Wikipedia.org
[7]Soetomo, Strategi-strategi pembangunan masyarakat, 2013, Yogjakarta: pustaka pelajar, hal. 277-278
[8]Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahan, 2013, Yogyakarta; pustaka Pelajar, hal. 308-331
[9]Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, 2005, Bandung: Alfabeta, hal.135
[10]Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia, 2013, Bandung : Alfabeta, hal.161-162

Komentar